Amarillis [Part 6]

 

|| Title: Amarillis || Author: Phiyun || Genre: Sad | Hurt | Romance | Family life || Main Cast:  Jiyeon | Kai | Hyorin|| Support Cast : Member T-ara & Exo ||

 

Cerita ini hanya fiksi belakang namun apabila ada kesamaan di dunia nyata berarti hanya kebetulan semata. Penulis hanya memakai nama castnya saja sebagai bahan cerita, jadi keseluruhan cast yang ada disini milik penulis. FF ini terinspirasi dari film maupun buku yang pernah ditonton dan dibaca oleh author.  Maaf kalau karakternya Castnya aku buat beda dari karakter  aslinya. Ini semata – mata hanya untuk isi cerita saja. Tapi kalau di dunia kenyataan Castnya milik Tuhan, keluarganya dan agencynya. Heheee… XD

 

Preview: Part 1 | Part 2 | Part 3 | Part 4  | Part 5 

 

*** Happy  Reading ***

Di atas hamparan pasir, Jongin menggelar sebuah handuk yang cukup besar lalu menghempaskan dirinya di atasnya. Ketika Jiyeon tampak ragu, ia langsung menarik gadis itu untuk bergabung dengannya.

 

“Aku tidak akan menggigit, Jiyeon-ah.” setelah itu Jongin bertumpu di atas sikunya sambil menikmati panorama yang ada di depan matanya. Kulitnya berkilau oleh tetesan air dan sinar matahari. Merasa kikuk, Jiyeon duduk diam-diam sambil menggengam kulit kerangnya. Ia mencoba mengerti apa yang dirasakannya saat berada di dalam pelukan Jongin, dan ia juga tidak tahu mengapa merasakan hal semacam itu.

 

Bagi Jiyeon kejadian itu sangat berarti untuk dirinya. kebahagian itu sama seperti ketika ia mendengar bisikan dari dalam kulit kerang di telinganya tadi. Tak lama kemudian ia mengalihkan pandangannya kekerang tersebut, kemudian tersenyum.

 

“Kau memperlakukan kerang itu seakan ia anakmu sendiri.” Jiyeon langsung menoleh saat mendengar suara Jongin dan ia melihat pemuda itu tersenyum. Jiyeon memutuskan bahwa ia belum pernah melihat senyuman setulus itu dari sosok Kim Jongin.

 

“Ini kan kerang yang sangat indah dan aku juga belum pernah menyelam untuk menemukan harta karun yang tenggelam seumur hidupku! Coba kau bayangkan berapa banyak ekor hiu yang harus aku singkirkan lebih dulu sebelum tanganmu dapat meraihnya.” Jongin menghempaskan tubuhnya di atas alas handuk tersebut dan Jiyeon menggernyitkan kedua alisnya.

 

“Mungkin kau hanya iri karena kau tidak berhasil mendapatkan apa-apa.”

“Aku tidak akan mati gara-gara itu.” kata Jongin datar.

“Kau tidak akan menemukan kulit kerang di Paris,” tukas Jiyeon “Anak-anak akan sangat senang dan memperlakukannya seperti kepingan penny yang berlapiskan emas mulia.”

 

Jongin terduduk saat mendengar perkataan gadis yang ada di sampingnya. “Anak-anak?”

“Murid-murid di sekolahku. Kebanyakan dari mereka belum pernah melihat ini kecuali dalam gambar.” sahut Jiyeon yang masih tetap mengamati temuannya.

 

“Kau mengajar?” tanya Jongin kembali.

Namun sayangnya nada tak percaya itu itu tak ditangkap oleh Jiyeon, karena perempuan itu terlalu asik dengan kerang itu. “Iya, aku mengajar di sekolah asrama. Setelah lulus, aku bekerja sebagai staf di sana. Habis mau kemana lagi, disanalah tempatku. Oh iya, bolehkan kapan-kapan aku kembali kesini lagi untuk mencari satu atau dua lagi dari jenis yang berbeda? Aku yakin anak-anak akan sangat senang.” Dengan wajah yang sumeringah.

“Ibumu tinggal di mana?”

 

Seketika senyuman yang saat tadi berada di susut bibir gadis itu lenyap saat Jongin bertanya tentang dimana ibunya berada? “Mwo?” saat ia mengalihkan perhatiannya, Jiyeon sudah melihat Jongin telah bangkit dari duduknya dan  sekarang dia sedang mengamati dirinya dengan tatapan matanya yang tajam. “Kau… tadi bilang apa?” tanyanya kembali, karena bingung dengan perubahan nada suara laki-laki itu.

 

“Aku bilang, ibumu tinggal di mana?”

“Ke—ketika… aku masih sekolah dia tinggal di paris.” sahut Jiyeon. Ekspresi wajah yang tak bersahabat milik lelaki itu membuat hati Jiyeon kacau. Gadis itu berusaha mengubah topik pembicaraan mereka, “A—aku ingin melihat bandara sekali lagi, apakah mungkin…”

“Cukup!”

 

Jiyeon tersentak mendengar bentakaknnya, kemudian cepat-cepat mencoba membangun pertahanannya. “Kau tak perlu berbicara keras-keras padaku. Aku masih dapat mendengar cukup baik.”

“Jangan berlaga sok anggun, Tuan Putri. Aku hanya menginginkan jawabanmu!” Jiyeon dapat merasakan kegemasan dari sorot mata lelaki berkulit kecoklatan tersebut.

“Maafkan aku, Jongin-ssi.” Jiyeon bangkit kemudian menjauh. “Aku benar-benar tak ingin bertengkar denganmu saat ini.”

 

Sambil mengumpat, Jongin kemudian berlari untuk menangkap lengannya. “Kau boleh saja jual mahal. Begitu cepatnya kau berubah-ubah, sampai aku tidak tahu lagi yang mana yang benar. Siapa kau sebenarnya?!”

“Aku lelah menjelakannya padamu siapa diriku ini.” sahut Jiyeon masih dengan tatapan yang tenang. “Aku tidak tahu kau mengharapkanku berkata semacam apa tentang diriku?”

 

Jawaban dan nada suara Jiyeon yang tenang rupanya hanya membuat Jongin semakin gusar. Lelaki itu lalu mengeratkan cengkramannya dan menyentakkan lengan Jiyeon. “Apa maksudmu dengan itu?”

 

Tubuh Jiyeon dihentakkan ke arahnya secara kasar, dan saat Jongin akan berkata kembali tiba-tiba seseorang memanggil namanya. Lelaki itu mengumpat dalam nada yang tertahan, kemudian melepaskan Jiyeon dan menoleh. Sementara seseorang muncul dari balik belakang deretan pohon kelapa yang menjulang tinggi.

 

Tadinya Jiyeon mengira sosok itu roh halus penunggu pulau ini yang sedang bergentayangan di antara kerimbunan dan hamparan pasir. Kulit gadis itu berwarna coklat keemasan dan tampak mulus dengan latar kain  merah menyala di tubuh moleknya dengan pola gambar bunga berwarna kebiruan.

 

Rambutnya yang hitam legam tergerai sampai pingang, berayun dengan lembut mengikuti gerakannya. Seulas senyum mengoda membayangi wajahnya yang sempurna dan berkesan eksotik, gadis itu lalu mengangkat sebelah tangannya dan mengayunkan untuk menyampaikan salam, dan Jongin membalasnya.

 

“Hai… Hyorin.”

 

Wujudnya semakin nyata dimata Jiyeon saat gadis cantik itu menyapu lembut sebelah pipi Jongin. “Kata Yolanda, kau pergi menyelam, aku sudah menebaknya kalau kau akan pergi ke sini.” suaranya yang serak menambah aksen ke seksian tutur katanya.

 

“Park JIyeon, Kim Hyorin.” Jongin berusaha menyairkan suasana dengan memperkenalkan mereka berdua. Untuk sesaat Jiyeon sadar bila keberadaan dirinya hanya akan menjadi pengganggu. “Jiyeon putrid kapten Park.” Kata Jiyeon kembali memperkenalkan dirinya.

 

“Ohh… Nona Park.” Balas Hyorin sambil memperhatikan setiap jengkal tubuh wanita yang saat ini berdiri di depannya. Wanita berkulit tan itu tersenyum penuh arti dan Jiyeon menyadari bila dirinya sedang di nilai oleh orang asing tersebut. “Senang bertemu denganmu Jiyeon-ssi. Apakah kau akan tinggal lama di sini?”

 

“Seminggu atau tidak di akhir bulan ini.” Sahutnya kembali. Jiyeon berusaha menegakkan tulang belakangnya dan kemudian menatap balik Hyorin. “Kau tinggal di sini?”

 

“Ya, meskipun aku jarang berada di sini karena tuntutan pekerjaan. Aku seorang pramugari. Kebetulan untuk beberapa hari ini aku mendapatkan cuti. Kalau tidak keberatan bolehkah aku bergabung dengan kalian saat menyelam.” Senyumnya kemudian menyelipkan sebelah tangannya di lengan Jongin.

 

Jiyeon memperhatikan Jongin dengan tatapan bingung. Bagaimana bisa ekspresi pria itu bisa tersenyum manis dihadapan wanita itu. “Tentu, kami masih mempunyai waktu yang sangat panjang untuk menyelam.”

 

“Kukira sebaiknya aku kembali,” potong Jiyeon. Ia merasa kehadirannya tak diinginkan dan ia juga merasa jengah. “Kurasa aku tak kuat bila terlalu lama terkena sinar matahari.” Ia lalu memungut pakaiannya dan kerang yang tadi ia temukan saat menyelam. “Terimakasih, Kim Jongin, atas waktumu.” Dan sebelum ia beranjak dari sana JIyeon pun tak lupa berpamitan dengan wanita berkulit Tan tersebut. “Senang sekali berkenalan dengan Anda, Nona Hyorin-ssi.”

 

“Ya, dan sepertinya kita akan sering berjumpa kedepannya, Nona Park. Semoga kau betah dengan keramahan kami.” Lalu ia melepaskan kainnya, Hyorin memperlihatkan setelan bikininya dan kemolekan tubuhnya.

“Penduduk pulau ini memang sangat ramah.” sahut Jongin santai.

 

Setelah selesai berpamitan, Jiyeon lalu berjalan kearah rimbunan pepohonan palem. Dan ia tak sengaja menangkap suara canda Hyorin. Jiyeon menoleh ke belakang sesaat sebelum dedaunan membatasi penglihatannya. Ia melihat lengan-lengan berwarna keemasan itu melingkar di leher Jongin, dan menariknya ke dekat wajahnya dengan posisi yang mengundang.

 

~OoO~

 

Perjalanan Jiyeon kembali dari teluk memberi gadis bersurai hitam itu waktu untuk memahami berbagai emosi yang telah dibangkitkan oleh pria yang bernama lengkap Kim Jongin tersebut. Pertama-tama perasaan yang timbul adalah amarah, benci kemudian berganti muak. Namun kini, ia merasakan keresahan saat ia menyadari bila dirinya tidaklah ahi dalam berdekatan dengan seorang pria. Ya, pengalaman Jiyeon sangat sedikit bahkan bisa dibilang tidak ada apapun pengalaman yang ia miliki karena ia dibesarkan didalam biara  hingga sekarang.

 

Tapi anehnya ia merasa nyaman saat dirinya menyelam kepermukaan laut bersama Jongin. Ia sangat senang dan merasa aman bersama dengan pria itu. Dan, harus dirinya akui ini kali pertama ia merasakan hal semacam itu. Ia merasa seakan dinding-dinding kaya yang selalu mengukungnya pecah berhamburan saat pria berkuit tan itu menyentuh dirinya hingga dirinya merasakan berbagai macam sensasi yang asing dalam hidupnya namun anehnya ia merasa nyaman.

 

“Itu pasti karena pertama kalinya aku menyelam setelah sekian lama.” Pemikiran itu langsung di buang jauh-jauh oleh Jiyeon.

 

Sejenak Jiyeon berhenti untuk memetik sekuntum bunga berwarna kuning kemudian melanjutkan perjalanannya. Ia menyelusuri jalan setapak. Perasaannya terusik saat mengingat kembali sikap Jongin yang mendadak marah, kemudian kemunculan Hyorin.

 

“Kim Hyorin…” batin Jiyeon kembali terusik saat mengingat nama mahluk cantik tersebut. Kedua alisnya mengerut, saat mengingat nama petugas di airport yang menggundang sama seperti wanita yang terakhir ia temui. Namun kerutan di atas dahi Jiyeon segera menghilang saat ia membuang perasaan aneh tersebut.  Jiyeon pun lalu menarik kesimpulan bahwa seorang Kim Jongin memiliki kelemahan dalam menghadapi wanita-wanita yang bentuknya semacam itu. “Begitu rupanya.” gumam gadis itu kembali.

 

Namun tak lama dirinya terusik kembali dengan kejadian yang telah ia alami bersama dengan Jongin. Ia telah berciuman dengan dirinya lebih dari satu kali. Tidak mungkin pria arogan itu merubah tipe wanita idamannya dalam waktu sekejab.

 

“Itu hanya kecupan bukan ciuman, semua itu tak ada artinya! Ia melakukan itu semua karena kebetulan aku ada disampingnya. Jelas Hyorin lebih mempesona dibandingkan dirinya. Banyak yang dapat diberikan oleh Hyorin untuk Jongin dari pada dirinya.”

 

Hyorin seperti burung merak yang sedang mengembangkan sayapnya yang indah berbanding terbalik dengan dirinya yang seperti burung gereja kecil yang hanya memiliki warna kelabu yang sama sekali tidak ada menarik-menariknya.

 

“Laki-laki itu tidak mungkin melihat diriku sebagai seorang wanita. Tatapannya selalu penuh dengan kebencian bila bersamaku.” Lirih Jiyeon, “Tapi bukan berarti aku ingin terlihat menarik bagi seorang Kim Jongin. Itu jelas tidak! Aku hanya ingin tampak menarik bagi laki-laki yang tidak punya rasa toleran seperti dirinya.”

 

Jiyeon bergumam sambil mencerucutkan bibirnya tak lama kemudian terdengar suara helaan napas yang bercampur geraman, ia terdiam saat kedua maniknya tak sengaja menatap setangkai bunga yang sudah tidak ada bentuknya. Ia tidak menyadari bila sedari tadi ia telah mencabuti sekelopak demi sekelopak bunga cantik tersebut. Entah apa yang membuat ia kesal sampai bunga cantik yang tidak bersalah  itu pun harus menanggung kekesalannya. Ia pun lalu membuang bunga itu kemudian mempercepat laju langkahnya.

 

~OoO~

 

Sesampainya di kediaman sang ayah, Jiyeon langsung memasuki kamarnya untuk membersihkan diri dan berganti pakaian namun sebelumnya ia menyimpan terlebih dahulu barang temuannya yang sangat berharga di saat ia menyelam. Ya, Kulit kerang itu ia simpan baik-baik di dalam kotak berwarna pastel kemudian ia taruh di dalam almari pakaiannya.

 

Setelah selesai berganti pakaian, Jiyeon langsung berjalan menuju ruang keluarga di lantai bawah. Ia merasa resah dan tidak tahu apa yang akan ia lakukan. Ia sudah biasa melakukan aktifitas sehari-hari saat ia mengajar di Prancis. Dahulu ia ingin merasakan bagaimana hari-hari tanpa melakukan kegiatan sama sekali. Tapi sekarang ia malah terbali, ia rindu akan waktu-waktu itu.

 

Jiyeon merasa serba salah dengan keadaan saat ini. Tempat ini sebenarnya sangat ia rindukan namun di waktu yang sama ia merasa asing dengan semua itu. Ia seakan tidak ada meskipun kehadirannya diketahui oleh semua penghuni rumah. Sejak ia datang tidak ada seseorang pun yang mengajak dirinya untuk mengelilingi rumah.

 

Untuk beberapa saat gadis bersurai hitam itu terlihat kikuk dan ragu saat menatap sekelilingnya namun itu hanya sesaat. Setelah rasa bimbang itu hilang, Jiyeon mulai mengexsplorari rasa keingin tahuannya. Dan ternyata sang ayah sangat sederhana. Tuan Park sangat menyukai kesederhanaan di setiap sudut rumahnya. Tidak banyak perabotan dan meskipun begitu keindahan dan kenyamanan setiap ruangan tidak berkurang sedikitpun.

 

Sebenarnya saat dirinya akan terbang ke sini. Jiyeon sudah membayangkan gambaran sang ayah yang hidupnya penuh dengan kepuasan yang ia miliki. Lelaki yang hidup tentram yang menyalurkan kecintaannya dalam pekerjaannya. Sekarang Jiyeon mulai mengerti mengapa perkawinan kedua orang tuanya kandas.

 

Dengan sifat sang ayah yang sederhana dan sering merasa puas yang berbanding terbalik dengan sang ibunya yang menjujung tinggi kemewahan, keglamoran dan tidak merasa puas dengan apa yang telah ia dapatkan. Dengan sikap istrinya yang seperti itu membuat Ayahnya merasa serba salah menghadapi tabiat sang ibunya. itulah momok dari awal retaknya hubungan mereka berdua.

 

Jiyeon berpikir sejenak, mengerutkan kening dan kemudian ia mulai mempertanyakan pada dirinya sendiri mengapa dirinya tidak bisa merasa nyaman di dalam dunia ibunya maupun ayahnya.  Kedua dunia mereka terasa asing dan tak bersahabat dengan dirinya meskipun kedua berbeda tiga ratus enam puluh derajat.

 

Jiyeon menggapai sebuah figura berbingkai cokelat maroon dari atas meja kecil di berada di depannya. Ia melihat potret yang ayah yang masih dibilang lebih muda menatap dirinya sementara lengan sebelah kanannya merangkul ramah pundak pria muda yang bisa dibilang belum cukup dewasa. Jiyeon tahu persis saat melihat gambaran pria muda tersebut ketika ia melihat senyumannya yang khas. Ya, senyuman khas itu milik pria menyebalkan yang bernama Kim Jongin. Senyuman di sebelah sudut bibirnya yang penuh kepercaya dirian yang sering membuat Jiyeon tak mengerti apa yang ada di dalam isi kepala pria itu.

 

“Mereka terlihat akrab, tidak sangat akrab seperti ayah dan putra kandungnya.” Lirihnya dengan bibir yang bergetar dan mata yang berkaca-kaca. Seandainya orang lain yang menatap potretan ini orang lain pun akan berpikiran sama dengan dirinya. Tiba-tiba terbesit rasa cemburu dan iri di saat yang bersamaan dalam diri Jiyeon.

 

Iya merasa cemburu saat membayangkan keakraban potret kedua pria yang ada di bingkai tersebut. Rasa cemburu itu kini berubah rasa sedih dan perih saat mengetahui dirinya tidak akan pernah bisa menjadi bagian di dalam kehidupan mereka saat yang terdahulu maupun kehidupan mereka yang di hari mendatang.

 

“Ini tidak adil!” pekik Jiyeon.

 

Tubuhnya mulai mengigil dengan kedua tangannya yang gemetar sambil menggengam erat bingkai foto tersebut.  Jiyeon tak sanggup lagi menahan emosinya sehingga buliran-buliran bening yang ia pertahankan akhirnya jatuh begitu saja yang kini telah membasahi kedua pipinya. Di dalam batinnya, Jiyeon berteriak dan bertanya siapa yang patut disalahkan disini. Ibunya kah, ayahnya kah, pria bernama Jongin kah atau biang dari semua kesalahan dan kerumitan ini adalah dirinya sendiri?

 

Jiyeon sadar ayahnya membutuhkan teman dalam melanjutkan hidupnya setelah kepergian dirinya dan sang ibu. Seseorang teman yang dapat berbagi keluh kesah dan penderitaannya, Jiyeon mengerti itu dan semakin ia memahaminya membuat hati  Jiyeon perih karena bukan dirinyalah yang ada di sisi sang ayah.

 

“M—maaf … Maaf…kan  aku Pah…” bisik Jiyeon di dalam tangisannya.

 

~OoO~

 

 

-TBC-

 

~OoO~

 

Haloo… Readers semuanya, lama tidak ketemu dengan kalian. Adakah yang menunggu kelanjutan ceritaku? Hari ini aku bawakan lagi nih update-tan fanfic amarillis buat kalian semua ^^. Akhirnya kelar juga, hehehe 😀 Maap kalau lama up-na, karena Phiyun belakangan bulan ini sedang hiatus + Lappyku lagi atit jadinya kelanjutan ff ini dan yang lainnya menghilang tanpa jejak (T __ T) & maap juga ya kalau banyak typo yang bertebaran, soalnya miminya cuman manusia biasa, hehe 😀

 

Penasaran sama kelanjutannya? Kalau gitu jangan lupa tinggalkan jejaknya ya setelah selesai membacanya, biar daku lebih semangat lagi buat lanjutan ini Fanfic, hoho…

Sebelum dan sesudahnya mimin juga mau ngucapin terimakasih sama semua readers yang sudah mau meninggalkan komennya di part sebelumnya dan di sini…

See you next part 7…

4 thoughts on “Amarillis [Part 6]

  1. Yang kelaa q paling nungguin ni ff ini.
    Suka banget dg gaya bahasana srperti novel,fan yg bikin nyesek jadi jiyeon,pdhal yg salah ini pasti ibunya

    Like

Write your great opinion ^^